Teori Konflik Kebudayaan
Teori konflik kebudayaan adalah kumpulan teori yang
menjelaskan peranan suatu bangsa diantara kelompok-kelompok yang bertikai yang
ada di masyarakat sehingga dapat mengakibatkan munculnya kejahatan. Berikut ini
akan diuraikan secara singkat beberapa teori konflik kebudayaan, yaitu :
1. Teori konflik Thorsten Sellin
Sellin menulis sebuah buku tentang konflik kebudayaan pada tahun 1938 yang didasarkan pada konflik norma tingkah laku. Menurutnya, setiap budaya menanamkan norma budanya sendiri (tingkah laku) dan menginternalisasikan norma tersebut dalam diri anggota budaya itu. Norma dipelajari oleh setiap individu dan diatur oleh budaya dimana individu itu berada. Konflik budaya akan muncul manakala aturan itu tidak dipatuhi oleh anggota budaya. Konflik disini mencakup primary conflict dan secondary conflict.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap
kelompok masyarakat selalu memiliki norma yang mengatur tingkah laku
kelompoknya dan digunakan sebagai pedoman dalam hidup bermasyarakat. Apabila
ada anggota yang melakukan pelanggaran terhadap norma tersebut, maka yang
bersangkutan akan dikenai sanksi.
2. Teori konflik Vold
Vold melihat konflik antara kelompok kepentingan yang ada dalam budaya yang sama dan didalam sub kebudayaan. Menurut vold, pada hakikatnya orang mempunyai sifat "group oriented" dan mereka mempunyai kepentingan yang sama bersatu membentuk sebuah kelompok dalam upaya mendorong kepentingan mereka masuk kedalam kancah politik. Berbeda dengan sub kebudayaan, kelompok semacam ini agaknya bersifat sementara. Jadi, hanya ada dan tetap ada selama masih dikehendaki untuk mencapai tujuan yang diharapkan mereka.
Dengan adanya berbagai kelompok itu seringkali mempunyai
banyak kepentingan dan acapkali kepentingan itu bertentangan satu dengan yang
lain. Ketidaksesuaian atau pertentangan inilah yang menimbulkan konflik.
3.Teori konflik Dahrendorf dan Turk
Kedua tokoh ini memfokuskan pada hubungan antara otoritas dan subjeknya. Bagi Dahrendorf, kekuasaan adalah faktor yang dianggap penting. Sebaliknya bagi Turk, kekuasaan didasarkan pada status sosial.
Dahrendorf memandang persoalan dari konflik karena adanya
perbedaan kekuasaan, dan khususnya dalam distribusi otoritas. Seluruh
masyarakat yang sehat membutuhkan perbedaan dalam tingkat kekuasaan atau
otoritas individu, sehingga norma atau aturan budaya dapat dijalankan.
Turk juga mengakui bahwa konflik sosial merupakan bagian
yang nyata dan tidak dapat dielakkan dari kehidupan sosial, di mana seseorang
harus berada dalam otoritas, apabila tidak ada konflik dalam tatanan sosial
maka hal itu tidaklah sehat. Karena ketiadaan konflik menunjukkan bahwa dalam
masyarakat tersebut terdapat konsensus yang terlalu besar, atau individu secara
berlebihan dikontrol atau ditekan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Namun
demikian, jika intensitas timbulnya konflik tersebut sangat tinggi maka hal itu
juga tidak diinginkan, karena tidak ada masyarakat dapat sehat tanpa tingkat
konsensus yang begitu tinggi. Dengan demikian, Turk memandang ketertiban sosial
didasarkan pada “coercion-consensus model”, dan otoritas harus
menjamin bahwa keseimbangan antara kedua hal itu tidak hilang.
Dalam teori ini menyatakan bahwa Konflik terjadi karna
adanya ketidaksesuaian antara norma budaya dan norma sosial serta organisasi
dan kecanggihan otoritas (penguasa) dan subjek (masyarakat). Otoritas, selain
daripada rakyat banyak, pada hakikatnya dapat terorganisir untuk mendapatkan
dan tetap menguasai kekuasaan. Pada satu sisi, subjek sering tidak memiliki
organisasi namun subjek yang terorganisir oleh, misalnya anggota gang yang
mempunyai hubungan yang sangat erat akan lebih dapat menentang kekuasaan
negara. Turk berpendapat bahwa jika mereka yang sedang melakukan kegiatan
secara illegal itu teroganisir, maka kan semakin besar konflik antara
subjek dan negara (penguasa).